Oleh Goenawan Muhamad
Seorang penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia seorang penggubah origami. Ia membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang. Sebab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan.
Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning.
Origami, di situ, mengandung dan mengundang perubahan. Berbeda [...]
Pada umur 26, Andries Teeuw naik kapal pos, mengarungi laut, melintasi Terusan Suez, dan sampai di pelabuhan Sabang. Itu tahun 1947. Perjalanan yang tak menjanjikan ketenteraman.
Hanya dua tahun sebelumnya Indonesia menyatakan diri merdeka. Belanda, yang merasa dibangkang, kemudian mengirim pasukan untuk menaklukkannya kembali. Tapi Teeuw, kelahiran Gorinchem, Holland Selatan, datang sendirian, meskipun dengan dana pemerintah untuk riset di Lombok. Ia baru setahun beroleh gelar doktor dari Universitas Utrecht. Entah bagaimana seorang ilmuwan yang begitu muda melintasi ketegangan hari-hari itu.
Saya hanya pernah membaca, dari Sabang ia menulis sepucuk surat kepada [...]
TIAP jagoan perlu ironi. Tiap kali seorang tokoh ditampilkan demikian perkasa, penting untuk ambil jarak. Jarak untuk berpikir lagi, dengan sedikit lelucon. Jarak untuk lebih arif.
Ironi membuka pintu ke kearifan itu. Ironi, kata Anatole France, adalah la gaietΓ© de la rΓ©flexion et la joie de la sagesse. Bersama ironi kita bisa merenung kembali dengan hati ringan tentang hal ihwal yang berlebihanβdan jadi sedikit bijaksana seraya riang.
Agaknya itulah yang membuat kita, pada usia di atas 40βyang sudah menyaksikan sejumlah omong kosong di duniaβtak berhenti menyukai komik Asterix. Kita hanya sesekali menengok kembali Superman atau Batman yang kita gemari pada usia di [...]
Pada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang terik di hutan pekat itu, Yudhistira menemukan keempat adiknya tewas. Di tepi sebuah danau tergeletak dua saudara kandungnya seibu, Bhima dan Arjuna. Lebih ke utara terdapat jenazah Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadhewa. Keduanya adik yang lain: putra Pandhu dari Ibu Madrim.
Yudhistira terhenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas pertempuran. Apa yang terjadi? Sementara pikirannya galau, ia dengar suara berat yang tak tampak sumbernya.
Suara itu mengatakan, keempat kesatria tersebut mati karena melanggar larangan: mereka telah diberi tahu agar tak meminum air telaga itu, tapi merekaβdengan penuh percaya diri, [...]